Oleh : Farid Gaban

Menurut The World Atlas of Mangroves (2010), luas hutan mangrove dunia
mencapai 15 juta ha. Indonesia memiliki sekitar 3,15 juta ha, atau 21
persen luas hutan mangrove dunia tadi. Indonesia diikuti Brazil yang
cuma memiliki 9 persen, serta Nigeria, Meksiko dan Australia yang
masing-masing hanya sekitar 750.000 ha atau 5 persen saja.
Tumbuh di pesisir pantai, mengelilingi pulau-pulau, hutan mangrove
merupakan ekosistem yang unik. Hutan mangrove hanya satu persen saja
dari luas keseluruhan hutan dunia. Namun, makna dan manfaatnya luar
biasa bagi kelangsungan hidup umat manusia, dan khususnya bagi manusia
negeri bahari seperti Indonesia. Kelangkaan hutan mangrove di satu sisi,
dan perannya yang penting di sisi lain, membuat ekosistem ini terlalu
berharga untuk dibiarkan punah.
Seperti hutan lain pada umumnya, dia merupakan kawasan hijau yang
berfungsi sebagai paru-paru alami dunia. Para ahli ekologi percaya,
hutan mangrove dunia menyerap sekitar 20 juta metrik ton karbon dari
udara. Berkurangnya hutan ini ikut menyumbang peningkatan suhu bumi,
atau pemanasan global, yang berakibat pada melelehnya es di kutub dan
makin tingginya air laut yang menyapu kawasan pesisir dan bahkan
menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Berisi 17.500 pulau, Indonesia memiliki 95.000 km garis pantai,
menjadikan negeri ini negeri tropis dengan garis pantai terpanjang di
dunia. Sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal kawasan tepian pantai; dan
sekitar 40 juta orang di antaranya mendiami wilayah daratan hanya
dengan ketinggian 10 meter di atas permukaan air laut. Artinya, mereka
adalah penduduk Indonesia yang paling rentan terhadap perubahan
permukaan air laut.
Hutan mangrove di tepian pantai ini berisi pohon dan belukar yang sangat
digdaya, yang mampu bertahan hidup dalam kondisi lingkungan ganas:
tanah berkandungan garam tinggi, hawa panas, timbunan lumpur pekat, dan
gempuran ombak laut terus-menerus. Dengan kedigdayaannya, hutan mangrove
bermurah hati menjadi pelindung sekaligus tempat bertelur dan menteas
aneka ragam penghuni laut seperti ikan dan udang.
Di balik penampilannya yang nampak bersahaja, hutan mangrove merupakan
salah satu ekosistem paling produktif dan secara biologis sangat
penting. Sekitar 75 persen ikan komersial menetas, tumbuh dan
berkembang di situ, hidup bahu-membahu dengan aneka ragam fauna lain
seperti kepiting, burung-burung, serangga dan hewan-hewan pengerat.
Keutuhan hutan mangrove karenanya sangat penting bagi kelangsungan usaha
perikanan dan kelangsungan hidup jutaan nelayan serta masyarakat
pesisir yang hidup di tepian pantai pulau-pulau di Indonesia.
Sebaliknya, rusaknya hutan mangrove akan menggerus sumberdaya ekonomi
masyarakat pesisir, khususnya nelayan, yang pada akhirnya memperparah
masalah kemiskinan.
Sekitar 80% warga Indonesia, yang mendiami tak kurang 10.000 desa tepi
pantai dan pulau-pulau kecil, menghadapi kondisi ekonomi buruk. Dan
makin buruk. Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), sebuah
lembaga swadaya masyarakat, mengungkapkan data memiriskan: dari 2003
hingga 2008, jumlah nelayan tangkap di Indonesia turun dari 4 juta orang
menjadi 2,7 juta orang, hampir sepertiganya, akibat kerusakan ekosistem
pesisir yang terus-menerus menipiskan pendapatan mereka.
Dari segi ekologis, hutan mangrove berfungsi seperti layaknya pagar
pembatas yang merupakan filter antara daratan dan lautan. Bagi daratan,
hutan ini merupakan perisai dari ombak, mencegah abrasi atau pengikisan
daratan oleh air laut. Bersama naiknya permukaan air laut oleh pemanasan
global, abrasi mengancam punahnya pulau-pulau kecil Indonesia.
Sebuah studi menyebutkan tak kurang 2.000 pulau kecil Indonesia akan
hilang dalam kurun 30 tahun mendatang akibat hilangnya hutan mangrove
baik sebagai penghambat pemanasan global perisai daratan. Hilangnya
pulau-pulau itu akan mengancam eksistensi Indonesia sebagai negeri
kepulauan dan negeri bahari terbesar di dunia.
Lebih dari itu, Indonesia dikenal sebagai daerah rawan gempa, baik
tektonik maupun vulkanik, yang potensial memicu tsunami dahsyat seperti
yang terjadi di Aceh pada 2004 atau di Mentawai 2010. Banyak ahli
lingkungan percaya, ancaman gelombang tsunami tidak akan begitu
mematikan jika hutan mangrove masih lestari.
Sebaliknya, hutan mangrove juga melindungi ekosistem laut dari ancaman
daratan: menyaring sedimen dan sampah serta material pencemar lainnya.
Tanpa hutan mangrove, ekosistem padang lamun dan terumbu karang akan
terancam kepunahan. Padahal, terumbu karang Indonesia juga salah satu
khasanah alam yang sangat penting bagi dunia.
Indonesia merupakan negeri terpenting dalam Kawasan Segitiga Terumbu
Karang Dunia, The Coral Triangle, menguasai lebih dari separoh luasnya.
Kawasan yang meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Timor
Leste dan Kepulauan Solomon ini antara lain memiliki 600 spesies koral,
atau 75% populasi koral dunia, yang menjadikannya kawasan terumbu
karang dengan keragaman hayati tertinggi di dunia. Sebagai perbandingan,
Great Barrier Reef di Australia hanya berisi 350 spesies koral. Berkat
keragaman spesies yang sangat kaya itulah, kawasan The Coral Trangle ini
juga sering disebut sebagai “Hutan Tropis Amazon” di dasar laut.
Indonesia memiliki 51.000 kilometer persegi terumbu karang, atau sekitar
20% luasan terumbu karang dunia. Ekosistem terumbu karang Indonesia
menyimpan keragaman hayati tertinggi di dunia dengan antara lain berisi
2.500 jenis ikan, 2.500 jenis moluska, dan 1.500 jenis udang-udangan.
Sekitar seperempat pendapatan kotor nasional negeri ini ditopang oleh
kelestarian sumber daya pesisir dan laut ini yang antara lain
membangkitkan usaha perikanan bagi jutaan orang.
Tak hanya itu. Lestarinya hutan mangrove pesisir dan terumbu karang
menjadikan Indonesia salah satu negeri terindah yang layak disebut
Zamrud Khatulistiwa. Terumbu karang bersama lanskap pesisir yang indah,
tempat kita bisa menikmati laut biru beserta terbit dan tenggelamnya
matahari, juga merupakan khasanah keindahan alam yang mentakjubkan,
sumber potensial devisa dari industri pariwisata jika kita bisa
mengelolanya dengan lebih baik.
“Hutan mangrove memberi ilustrasi paling gamblang mengapa manusia
membutuhkan alam,” kata Mark Spalding, penyusun buku The World Atlas of
Mangroves serta ilmuwan kelautan senior yang bekerja untuk The Nature
Conservancy.
Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa hutan mangrove dan kelestariannya
tak hanya merupakan salah satu pilar penting sumberdaya lingkungan,
ekonomi dan sosial negeri ini, tapi juga penopang kelangsungan hidup
umat manusia di seluruh planet.
Merawat pesisir dan hutan mangrove adalah merawat hidup, merawat peradaban.
Namun, hutan mengrove menghadapi ancaman serius dalam tiga puluh tahun
terakhir. Menurut Badan Pangan Internasional (FAO), hutan mangrove dunia
menyusut seperempat luasnya dari tahun 1980 hingga 2000. Meski laju
penyusutan hanya 0,7 persen per tahun, hilangnya hutan mangrove akan
memicu kerugian ekonomi dan ekologis yang besar. Hutan mangrove menyusut
lebih cepat dari hutan pedalaman.
Di berbagai negeri, hutan mangrove hilang akibat perluasan pertanian,
pembangunan infrastruktur kota dan, terutama, pembukaan lahan tambak
udang serta ikan tepian pantai. Tak terkecuali di Indonesia. Wetlands
International memperkirakan sekitar 3,2 juta ha hutan mangrove Indonesia
berubah fungsi menjadi lahan tambak pada dasawarsa 1980-an saja.
Pesisir utara Pulau Jawa adalah contoh yang paling mencolok. Pembangunan
perkotaan, jalan dan usaha tambak menghabisi hutan mangrove, menjadi
Jawa pulau termiskin hutan mangrove di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir di seluruh dunia memang muncul kesadaran
kembali tentang pentingnya hutan mangrove. Terutama setelah banyak bukti
menunjukkan, usaha tambak yang terlalu intensif, bermodal besar dan
berlebihan dalam menggunakan pupuk kimia, justru hanya membawa
keuntungan sesaat namun memicu kerugian ekonomi dalam jangka panjang
karena rusaknya ekologi pesisir.
Di berbagai belahan dunia terjadi koreksi. Sistem tambak udang organik
(tanpa pupuk kimia) dan berbasis masyarakat diperkenalkan kembali dan
terbukti justru ikut membantu kelestarian dan pulihnya hutan mangrove
yang rusak.
Seperti terlihat dalam data The World of Mangroves 2010, telah ada
400.000 ha hutan mangrove baru di seluruh dunia, buah dari
program-program penanaman kembali hutan ini. Tapi, laju penanaman
kembali ini tetap kalah cepat dari laju kerusakan yang timbul, terlebih
jika pemerintah dan masyarakat tidak berupaya lebih keras lagi untuk
melindungi dan menyelamatkannya.
Sebagai sumberdaya hayati yang kaya, hutan mangrove tetap bisa
dieksploitasi untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun, kini
diperlukan cara pandang baru untuk memanfaatkannya secara berkelanjutan,
bukan merusaknya.
Bahkan jika kita mengesampingkan pertimbangan kelestarian lingkungan,
pertimbangan ekonomis saja sebenarnya sudah bisa memberikan alasan
terpenting untuk pengelolaan hutan mangrove yang lebih baik, untuk
melindungi yang masih ada dan memulihkan kembali yang rusak.
Sebuah studi menyebutkan, setiap hektar hutan mangrove potensial
menghasilkan komoditas senilai US$ 2.000-9.000 setiap tahunnya jika
dikelola secara sehat dan berkelanjutan. Jumlah itu sangat berarti
dibandingkan jika hutan mangrove beralih fungsi menjadi lahan tambak,
pertanian pesisir, atau komersialisasi wisata yang tak dikelola secara
ramah lingkungan.
Pengelolaan hutan mangrove yang lebih baik juga akan meningkatkan
kesejahteraan warga pesisir Indonesia yang mayoritas masih miskin. Kita
masih bisa berharap dari berkah hutan mangrove, justru jika kita lebih
serius melestarikannya dan memanfaatkannya secara bijaksana.